Warga Majalengka, Jawa Barat memiliki seni tradisional yang mengambarkan peperangan yaitu seni sampyong. Kesenian ini merupakan seni duel dengan menggunakan rotan. Namun pesertanya harus orang yang sudah cukup umur agar bisa mengendalikan emosi.
Iringan gamelan peserta seruling merupakan perangkat yang tidak bisa ditinggalkan dalam seni sampyong. Selain untuk menarik minat penonton untuk datang, tetabuhan ini juga semakin menambah semangat para penari.
Setelah terbentuk kalangan atau lingkaran, salah seorang sesepuh langsung bertindak sebagai malandang atau wasit. Tanpa di komando, biasanya akan muncul para lelaki yang akan mencoba menjadi peserta duel dengan mengambil rotan pemukul.
Malandang juga bertindak sebagai orang yang menyeleksi peserta duel. Jika dianggap belum cukup umur, seorang laki-laki tidak diperkenankan menjadi peserta sampyong.
Setelah rotan diadu, tanda dimulainya duel kedua peserta dan malandang terlebih dahulu ngibing atau berjoged mengikuti irama gamelan. Biasanya seorang peserta sampyong akan memulai pukulan saat lawannya lengah.
Namun uniknya, pukulan ke arah lawan harus disesuaikan dengan ketukan irama gamelan. Setiap peserta memiliki kesempatan untuk memukul tubuh lawannya dengan rotan sebanyak tiga kali. Hal ini sesuai dengan arti sampyong yang berasal dari bahasa Cina. Sam berarti tiga dan poyong berarti pukulan.
Permainan sampyong ini lebih bertujuan untuk menghibur dan mengasah sportifitas. Jika seorang sampyong terpancing emosinya, malandang atau wasit berhak mengusirnya.
Namun sayang, keberadaan seni sampyong kurang diminati kaum muda. Pagelaran sampyong ini rata-rata dimainkan oleh generasi tua. Padahal jika tidak diteruskan generasi muda, kesenian khas Majalengka ini bisa cepat punah
Iringan gamelan peserta seruling merupakan perangkat yang tidak bisa ditinggalkan dalam seni sampyong. Selain untuk menarik minat penonton untuk datang, tetabuhan ini juga semakin menambah semangat para penari.
Setelah terbentuk kalangan atau lingkaran, salah seorang sesepuh langsung bertindak sebagai malandang atau wasit. Tanpa di komando, biasanya akan muncul para lelaki yang akan mencoba menjadi peserta duel dengan mengambil rotan pemukul.
Malandang juga bertindak sebagai orang yang menyeleksi peserta duel. Jika dianggap belum cukup umur, seorang laki-laki tidak diperkenankan menjadi peserta sampyong.
Setelah rotan diadu, tanda dimulainya duel kedua peserta dan malandang terlebih dahulu ngibing atau berjoged mengikuti irama gamelan. Biasanya seorang peserta sampyong akan memulai pukulan saat lawannya lengah.
Namun uniknya, pukulan ke arah lawan harus disesuaikan dengan ketukan irama gamelan. Setiap peserta memiliki kesempatan untuk memukul tubuh lawannya dengan rotan sebanyak tiga kali. Hal ini sesuai dengan arti sampyong yang berasal dari bahasa Cina. Sam berarti tiga dan poyong berarti pukulan.
Permainan sampyong ini lebih bertujuan untuk menghibur dan mengasah sportifitas. Jika seorang sampyong terpancing emosinya, malandang atau wasit berhak mengusirnya.
Namun sayang, keberadaan seni sampyong kurang diminati kaum muda. Pagelaran sampyong ini rata-rata dimainkan oleh generasi tua. Padahal jika tidak diteruskan generasi muda, kesenian khas Majalengka ini bisa cepat punah
0 komentar:
Posting Komentar